Si Jampang adalah pendekar legendaris dari Betawi yang dikenal sebagai “Robin Hood” dari Betawi. Dengan kepiawaiannya bermain silat, ia kerap merampok harta milik tuan-tuan tanah maupun orang kaya yang tamak di daerah Grogol, Depok. Lalu, hasil rampokannya dibagi-bagikan kepada rakyat jelata. Bagi, tuan tanah dan orang kaya, si Jampang adalah momok yang menakutkan. Namun, ia merupakan sosok pahlawan bagi rakyat kecil. Bagaimana kisah hidup si Jampang? Berikut kisahnya dalam cerita Si Jampang, Robin Hood dari Betawi.
* * *
Selain si Pitung, Betawi juga memiliki pendekar legendaris yang dijuluki “Robin Hood” dari Betawi. Ia adalah si Jampang yang terkenal tampan, gagah perkasa, dan sakti. Nama si Jampang diambil dari nama daerah asal ibunya yaitu daerah Jampang di Sukabumi, Jawa Barat. Ayahnya berasal dari Banten. Si Jampang dan istrinya tinggal di Grogol, Depok. Mereka hidup berbahagia dan dikaruniai anak laki-laki yang sering dipanggil si Jampang Muda. Namun, kebahagiaan tersebut tidak berlangsung lama. Saat anak mereka mulai beranjak remaja, istri si Jampang meninggal dunia karena sakit. Sejak itulah, si Jampang hidup menduda dan merawat anak semata wayangnya seorang diri. Karena ingin melihat anaknya menjadi anak saleh dan berguna bagi masyarakat, ia pun menitipkannya ke pondok pesantren.
Sejak itu, sang anak lebih tinggal di pondok pesantren. Terkadang, ia pulang menemui sang ayah jika memerlukan uang pembayaran sekolah dan untuk biaya hidup. Si Jampang merasa kesepian. Dari situlah muncul pikirannya ingin membantu rakyat Betawi yang menderita akibat mendapat tekanan dari para tuan tanah dan para orang kaya yang kikir.
“Ah, lebih baik aye rampok harta mereka untuk aye bagikan kepada rakyat jelata,” pikirnya.
Si Jampang pun mulai merampok harta benda para tuan tanah dan orang-orang kaya di daerah Grogol. Mereka yang menjadi korbannya pun murka kepadanya. Namun, rakyat justru senang karena sering mendapat bagian harta hasil rampokan si Jampang. Sejak itulah, ia terkenal sebagai perampok dan menjadi buah bibir warga, tidak terkecuali di kalangan para kyai dan santri di pondok pesantren. Hal itu membuat si Jampang Muda malu karena sepak terjang ayahnya.
Suatu ketika, anak si Jampang pulang ke rumah dengan membawa semua pakaiannya.
“Hai, Tong![1] Kenapa pakaianmu kamu bawa pulang semua?” tanya si Jampang kepada anaknya.
“Malu kenapa, Tong?” tanya sang Ayah.
“Bukankah Babe keturunan Banten? Biasanya orang-orang Banten itu alim. Tapi, Babe kok malah suka merampok? Semua orang di pesantren membicarakan Babe. Aye kan malu,” kata sang anak dengan perasaan kecewa.
“Hai, Tong. Kamu tidak perlu menasehati Babe seperti itu. Katakan saja apa maumu,” kata si Jampang.
Anak si Jampang hanya menggeleng-gelengkan kepala lalu berkata kepada ayahnya.
“Pokoknya, aye tidak mau mengaji lagi,” tegas anak si Jampang.
“Payah, kamu Tong. Tadi memberi nasihat seperti kyai, tapi sekarang malah tidak mau mengaji lagi. Kamu mau jadi apa? Mau jadi perampok seperti ayah?” tanya sang Ayah.
Anak itu kembali menggeleng-gelengkan kepala. Ia benar-benar kecewa dengan perilaku ayahnya.
“Jadi, maumu apa, Tong? Mau menikah?” desak sang ayah yang mulai kesal.
“Tidak, Be. Babe saja yang menikah biar tidak kesepian lagi,” ujar sang anak.
Mendengar perkataan anaknya, si Jampang tertawa terbahak-bahak.
“Oh, kamu mau ibu lagi?” kata sang Ayah, “Baiklah, kalau begitu. Babe akan mencarikanmu ibu yang baru.”
Sang anak hanya terdiam. Sementara itu, si Jampang langsung teringat pada seorang janda bernama Mayangsari yang mempunyai seorang anak bernama Abdih. Janda itu adalah mantan istri Sarba, sahabatnya sejak kecil ketika mereka masih tinggal di Banten.
Suatu hari, si Jampang menyambangi rumah janda itu. Ciput, pembantu Mayangsari, ketakutan melihat kedatangan si Jampang yang terkenal sebagai perampok itu.
“Ah, jangan-jangan si Jampang ingin merampok di rumah ini,” pikirnya.
Ciput pun terlihat gugup saat menyambut kedatangan si Jampang.
“Ma... Maaf, Tuan Jampang. Ada apa gerangan Tuan ke mari?” tanya Ciput.
“Saya kemari ingin bertemu dengan tuan kamu,” jawab si Jampang. “Apakah ada?”
“Ada, Tuan,” jawab Ciput, “Silakan duduk dulu, akan saya panggilkan.”
Tak berapa lama, Mayangsari pun keluar menemui si Jampang. Ia lalu menceritakan perihal penyebab suaminya meninggal dunia.
“Dulu, kami ziarah ke makam di Gunung Kepuh Batu. Di sana, Bang Sarba bernazar akan menyumbang sepasang kerbau ke makam itu jika dikaruniai anak. Namun, setelah kami mempunyai anak laki-laki bernama Abdih, Bang Sarba lupa pada nazarnya. Kata orang, hal itulah penyebab kematian Bang Sarba,” cerita Mayangsari.
“Aye jadi bingung karena Abdih sedang sekolah di Bandung dan membutuhkan biaya yang banyak. Padahal, aye sendiri hanya ibu rumah tangga. Untung Bang Sarba meninggalkan sedikit warisan yang bisa membantu biaya sekolah Abdih,” lanjutnya.
“Kamu tidak usah bingung memikirkan Abdih. Nanti aye yang mengurusnya,” ujar si Jampang.
“Apa maksudmu?” tanya Mayangsari.
Si Jampang tersenyum lalu menjelaskan maksudnya kepada Mayangsari.
“Begini, Mayang. Kamu kan janda, sedangkan aye seorang duda. Akan lebih baik jika kita menikah saja,” ujar si Jampang.
Mendengar perkataan itu, Mayangsari menjadi tersinggung karena ia tahu benar sifat dan perilaku si Jampang. Ia tidak sudi menikah dengan seorang perampok.
“Hai, Jampang. Jika mau menikah, menikahlah dengan orang lain!” cetus Mayangsari, “Aye lebih baik tetap menjanda daripada menikah dengan perampok.”
Mendengar perkataan itu, si Jampang sangat malu sekali. Ia pun cepat-cepat pergi dari rumah itu. Namun, dalam hatinya berkata bahwa dirinya tetap bertekad ingin memperistri janda itu. Saat itu pula, ia langsung ke rumah Sarpin, keponakannya yang sering diajak merampok bersamanya.
“Pin, aye perlu dukun,” ungkap si Jampang.
“Untuk apa, Mang[4]?” tanya Sarpin bingung.
Si Jampang pun menceritakan perihal yang baru saja dialaminya di rumah Mayangsari.
“Aye harus menikahinya, Pin. Untuk itulah, aye perlu dukun untuk meluluhkan hatinya,” ujar si Jampang.
“Oh, aye tahu dukun yang ampuh, Mang. Namanya Pak Dul dari Kampung Gabus,” kata Sarpin.
Hari itu juga, si Jampang ditemani Sarpin pergi ke Kampung Gabus. Setiba di rumah Pak Dul, ia pun menyampaikan maksud hatinya.
“Pak Dul, tolong aye. Aye minta guna-guna agar Mayangsari tergila-gila pada aye,” pinta si Jampang seraya memberi imbalan kepada Pak Dul.
Dukun itu kemudian memberikan ilmu guna-guna kepada si Jampang. Mayangsari pun menjadi gila terkena guna-guna si Jampang. Ia sering tertawa sering dan memanggil-manggil nama si Jampang. Abdih yang baru pulang dari Bandung amat heran melihat perilaku ibunya.
“Kenapa Ibu jadi begini, Put?” tanya Abdih kepada pembantunya.
“Barangkali gara-gara si Jampang. Dia pernah ke mari hendak melamar, tetapi ditolak,” jawab Ciput.
“Wah, benar. Ini pasti diguna-guna oleh si Jampang. Lihat saja, ibu selalu memanggil-manggil namanya,” imbuh Abdih.
Abdih sedih melihat kondisi ibunya. Ia pun segera mencari keterangan mengenai dukun yang dapat menyembuhkan ibunya. Akhirnya, Abdih pun menemukan Pak Dul dari Kampung Gabus. Tanpa berpikir panjang, ia segera ke rumah dukun itu untuk meminta bantuan. Sang Dukun pun menyanggupi permintaan Abdih. Karena dia sendiri yang membuat guna-guna itu, makan ia pun dapat mencabutnya dengan mudah. Seketika itu juga, Mayangsari sembuh dan tidak ingat lagi kepada si Jampang.
Keesokan harinya, Abdih pergi menemui si Jampang di rumahnya untuk membalas dendam. Namun, saat bertemu pendekar sakti itu, ia malah takut sendiri melihat tampangnya. Ia pun terpaksa bicara baik-baik kepada si Jampang agar tidak lagi mengganggu ibunya.
“Apa katamu? Aku tidak boleh menikahi ibu?” ujar si Jampang, “Bisa tidak bisa, aku harus menikah dengan ibumu!” gertak si Jampang.
Abdih semakin ketakutan melihat sikap nekad si Jampang. Ia pun segera mencari akal agar si Jampang tidak jadi menikah dengan ibunya.
“Bukannya tidak boleh menikahi ibuku, Mang. Tapi, ada syaratnya,” kata Abdih.
“Apa syarat itu, Abdih? Cepat katakan!” desak si Jampang.
“Mang Jampang harus menyerahkan sepasang kerbau sebagai mas kawinnya,” jawab Abdi.
Abdi tahu bahwa si Jampang tidak akan mungkin memenuhi syarat itu. Maka, sebab itulah ia mengajukan persyaratan itu. Tapi, bagi si Jampang, tidak ada yang sulit baginya.
“Baiklah, Abdih. Kembalilah ke rumahmu! Syaratmu akan segera kupenuhi,” kata si Jampang.
Abdi pun kembali ke rumahnya dengan perasaan cemas. Jika memang benar si Jampang dapat memenuhi syarat itu, maka dirinya pun akan memiliki bapak tiri seorang perampok. Sementara itu, si Jampang kebingungan untuk memperoleh kerbau. Harga kerbau sangat mahal, sementara dia tidak mempunyai uang. Setelah berpikir sejanak, ia pun teringat pada Haji Saud, seorang kaya raya yang tinggal di daerah Tambuh. Sepasang kerbau bagi Haji Saud bukanlah berarti apa-apa.
Suatu malam, si Jampang bersama Sarpin menuju ke rumah Haji Saud dengan memakai topeng dan membawa golok. Keduanya berhasil mencuri sepasang kerbau milik Haji Saud dengan mudah. Namun, ketika mereka akan keluar pintu desa, puluhan anggota polisi telah mengepung. Para anggota polisi tersebut menodongkan senapan laras panjang. Si Jampang dan Sarpin pun tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka akhirnya dimasukkan ke dalam penjara dan si Jampang sebagai gembong perampok dihukum mati.
Mendengar kabar tersebut, para tuan tanah dan orang-orang kaya merasa gembira. Sebaliknya, rakyat amat bersedih. Bagi mereka, si Jampang bukan sekedar perampok, tapi ia merupakan pahlawan.
* * *
Demikian cerita Si Jampang, Robin Hood dari Betawi dari Jakarta. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang suka merampok seperti si Jampang akan mendapatkan balasannya. Jika ia merampok harta milik orang-orang kaya kikir demi membantu rakyat jelata, hal itu masih bisa dibenarkan dan bahkan bisa dianggap sebagai pahlawan. Namun, jika ia mencuri untuk kepentingan pribadi, hal itu tidak dapat dibenarkan. (Samsuni/Sas/245/04-2011)
Diceritakan kembali oleh Samsuni
No comments:
Post a Comment
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda Silahkan Tinggalkan Komentar