Kumpulan Cerita Rakyat , Legenda , Dongeng , Cerpen , Gurindam , Puisi Nusantara Indonesia Dari Sabang Sampai Marauke

Sunday, May 5, 2013

Kumpulan Artikel Legenda, Dongeng dan Cerita Rakyat Maluku - Empat Sultan di Maluku Utara

Empat Sultan di Maluku Utara adalah sebuah cerita yang sangat melegenda di kalangan masyarakat Maluku Utara, Indonesia. Keempat sultan tersebut adalah bersaudara kandung dan merupakan keturunan bidadari dari Kahyangan. Menurut masyarakat setempat, dari merekalah lahir pemimpin-pemimpin Maluku. Bagaimana kisahnya sehingga keempat sultan tersebut dikatakan sebagai keturunan bidadari? Lalu, bagaimana mereka bisa diangkat menjadi sultan? Ikuti kisah selengkapnya dalam cerita Empat Sultan di Maluku Utara berikut ini!
* * *
Alkisah,  pada zaman dahulu kala, di daerah Maluku Utara, ada seorang pemuda tampan bernama Jafar Sidik. Tak seorang pun warga yang mengetahui asal-usul keluarganya. Ia tinggal sendirian di sebuah rumah kecil di Desa Salero Ternate. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Jafar Sidik mencari kayu bakar di hutan dan menjualnya ke pasar. Di tengah hutan tempat ia biasanya mencari kayu bakar terdapat sebuah telaga yang berair jernih, sejuk, dan dikelilingi oleh pepohonan yang rindang. Setiap orang yang berada di tempat itu hatinya akan merasa nyaman dan tenteram. Itulah sebabnya telaga itu disebut dengan Telaga Air Sentosa.
Suatu sore, sepulang mencari kayu bakar, Jafar Sidik duduk-duduk di tepi telaga itu untuk melepaskan lelah. Sore itu, cuaca tampak cerah. Ia duduk di atas sebuah batu besar sambil merendam kakinya dalam air telaga. Pandangannya menerawang ke langit yang berwarna jingga. Pada saat itulah, tiba-tiba pandangannya tertuju pada setitik cahaya berwarna-warni. Semakin lama cahaya itu semakin memanjang dan semakin jelas, kemudian ujungnya jatuh di tengah Telaga Air Sentosa.
“Sungguh aneh! Tak ada gerimis, tak ada hujan, tapi ada pelangi,” gumam Jafar Sidik.
Baru selesai bergumam, tiba-tiba Jafar Sidik melihat di atas ujung lengkungan pelang itu muncul tujuh wanita cantik dengan pakaian warna-warni sesuai dengan warna pelangi. Ada yang berbusana warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Ketujuh wanita yang tak lain bidadari dari Kahyangan itu kemudian terbang ke tepi telaga. Jafar Sidik pun segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar sambil mengawasi tindak-tanduk mereka. Rupanya, ketujuh bidadari cantik tersebut hendak mandi di telaga itu. Mereka melepas selendangnya dan meletakkannya di atas bebatuan, kemudian mereka masuk ke dalam telaga. Dengan riangnya mereka mandi dan bermain-main air diselingi dengan canda tawa.
Jafar Sidik terus mengawasi ketujuh bidadari itu dari balik pepohonan. Ia sangat terpesona melihat kecantikan mereka. Di antara ketujuh bidadari tersebut, bidadari yang berbaju ungulah yang paling cantik. Dia adalah adik yang paling bungsu.
“Aduhai... cantik sekali bidadari yang berpakaian ungu itu,” gumam Jafar Sidik dengan kagum.
Jafar Sidik pun langsung jatuh hati dan berniat untuk memperistrinya. Namun, ia bingung karena bidadari itu pasti akan terbang kembali ke Kahyangan. Setelah berpikir sejenak, Jafar Sidik menemukan sebuah cara. Pada saat ketujuh bidadari itu tengah asyik bersendau gurau, ia melangkah perlahan-lahan sambil berjingkat-jingkat menuju ke tempat pakaian para bidadari tersebut diletakkan. Dengan cepat, ia mengambil selendang yang berwarna ungu. Setelah itu, ia segera kembali bersembunyi di balik pohon besar dan menyembunyikan selendang tersebut di balik bajunya.
Hari pun semakin sore. Tibalah saatnya para bidadari tersebut kembali ke negerinya di Kahyangan.
“Adik-adik, hari sudah menjelang malam. Ayo kita segera pulang sebelum pelangi itu menghilang!” ajak bidadari berbaju merah, kakak yang tertua.
Keenam adiknya pun menurut. Mereka segera naik ke darat dan mengenakan selendang masing-masing. Namun, bidadari yang bungsu masih kebingungan, karena selendangnya hilang.
“Ayo cepat, Bungsu! Pelangi sudah hampir menghilang!” seru bidadari berbaju hijau.
“Tunggu sebentar, Kak! Selendangku tidak ada. Padahal, tadi aku meletakkannya di atas bebatuan ini bersama dengan selendang Kakak,” kata bidadari yang berbaju ungu tiba-tiba.
Bidadari bungsu pun segera mencari selendangnya dan dibantu oleh keenam kakaknya. Mereka sudah mencarinya ke mana-mana, namun tidak menemukannya. Walaupun harus meninggalkan si Bungsu seorang diri, keenam bidadari lainnya memutuskan untuk segera pulang, karena pelangi sudah mulai memudar.
“Maafkan kami, Adikku! Kami terpaksa meninggalkanmu seorang diri sini. Jaga dirimu baik-baik!” ujar bidadari yang sulung.
“Jangan tinggalkan aku, Kak!” teriak si Bungsu sambil meratap.
Namun, keenam kakaknya sudah terbang meninggalkannya. Tak lama kemudian mereka pun menghilang bersamaan dengan hilangnya pelangi itu.
Bidadari bungsu pun menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya.
“Ayah... Ibu..., kenapa nasibku begini?”
Jafar Sidik merasa kasihan melihat bidadari bungsu itu. Ia pun segera menghampirinya.
“Hai, Bidadari cantik! Siapa namamu? Kenapa kamu menangis dan bisa berada di tempat ini seorang diri?” tanya Jafar Sidik pura-pura tidak tahu apa yang terjadi pada bidadari bungsu itu.
“Nama hamba Putri Boki Nurfaesyah, Tuan! Hamba tidak bisa kembali lagi ke Kahyangan karena selendang hamba hilang entah ke mana. Apakah Tuan melihatnya?” tanya Putri Boki Nurfaesyah.
Jafar Sidik tidak memberitahunya kalau dialah yang telah mengambil selendang bidadari itu. Karena hari sudah hampir malam, Jafar Sidik mengajak Putri Boki Nurfaesyah ke rumahnya. Putri Boki Nurfaesyah pun menerima ajakan itu. Saat tengah malam, ketika Putri Boki Nurfaesyah tertidur pulas, Jafar Sidik menyembunyikan seledang berwarna ungu itu di bubungan rumahnya.
Sejak tinggal bersama Putri Boki Nurfaesyah, keinginan Jafar Sidik untuk menikahi putri itu semakin kuat. Pada suatu hari, ia pun menyampaikan niat itu kepada Putri Boki Nurfaesyah.
“Wahai, Putri Boki! Kebetulan aku belum berkeluarga dan tidak mempunyai sanak saudara di sini. Maukah engkau menjadi pendamping hidupku?” ungkap Jafar Sidik.
Putri Boki Nurfaesyah hanya terdiam. Ia bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Sebenarnya ia ingin sekali kembali ke negerinya untuk berkumpul bersama keluarganya. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa kembali ke negerinya, karena selendangnya hilang. Akhirnya, ia pun terpaksa menerima lamaran Jafar Sidik.
“Baiklah, hamba bersedia menerima lamaran Tuan, tapi Tuan harus memenuhi satu syarat,” jawab Putri Boki Nurfaesyah.
“Apakah syaratmu itu, Putri Boki?” tanya Jafar Sidik penasaran.
“Tuan harus berjanji tidak akan mencegah hamba pulang ke Kahyangan jika hamba menemukan kembali selendang hamba,” jawab Putri Boki Nurfaesyah.
Jafar Sidik pun menerima syarat itu, karena ia berpikir bidadari bungsu itu tidak akan bisa menemukan selendangnya. Akhirnya, mereka pun menikah. Pasangan pengantin baru itu pun hidup bahagia, tenteram, dan damai. Jafar Sidik pun semakin tekun dan rajin bekerja. Kini, ia tidak hanya mencari kayu bakar, tetapi juga menanam sayur-sayuran di ladang. Pagi-pagi sekali ia sudah berangkat ke ladang dan baru kembali ke rumah saat hari mulai petang.
Beberapa tahun kemudian, Jafar Sidik dan Putri Boki Nurfaesyah telah dikaruniai empat orang anak laki-laki yang masih kecil-kecil. Semakin lengkaplah kebahagiaan Jafar Sidik. Ia pun mendidik anak-anaknya agar taat memegang dan melaksanakan ajaran agama Islam. Ia juga mengajarkan kepada mereka agar hidup saling menyayangi, tolong-menolong, dan rukun antara sesama saudara. Ia berharap keempat anaknya kelak menjadi orang yang bertanggung jawab.
Kehadiran keempat anak tersebut membuat Jafar Sidik semakin bersemangat bekerja. Putri Boki Nurfaesyah pun merasa berbahagia hidup bersama suami dan anak-anaknya. Namun, di tengah-tengah kebahagiaan itu, tiba-tiba muncul keinginan untuk pulang ke negerinya, jika ia telah menemukan selendangnya.
Suatu hari, ketika suaminya sedang bekerja di ladang, Putri Boki Nurfaesyah melihat ada pelangi di atas bubungan rumah mereka. Ia pun mengamatinya. Pada saat itulah, ia melihat sehelai kain berwarna ungu terselip di bubungan rumah. Ia pun mengambil kain itu. Setelah diamati, ternyata kain itu adalah selendangnya. Ia pun mengetahui bahwa orang yang telah menyembunyikan selendangnya selama ini adalah suaminya sendiri. Tanpa menunggu kedatangan suaminya pulang dari ladang, ia pun berpamitan kepada anak-anaknya untuk segera kembali ke Kahyangan.
“Maafkan Ibu, anak-anakku! Ibu harus pergi meninggalkan kalian. Jagalah diri kalian baik-baik dan patuhlah kepada ayah kalian!” ujar Putri Boki Nurfaesyah kepada anak-anaknya.
“Ibu mau pergi ke mana?” tanya si Sulung.
“Ketahuilah, anak-anakku! Ibu ini adalah seorang bidadari dari Kahyangan. Sebelum menikah, Ibu dan ayah kalian telah mengikat janji bahwa jika suatu hari kelak Ibu menemukan selendang Ibu yang hilang di tepi Telaga Air Sentosa, Ibu akan kembali ke Kahyangan,” ungkap sang Ibu.
“Ibu.... jangan tinggalkan kami. Kami sangat sayang kepada Ibu,” ratap si Bungsu.
“Iya, Bu! Jika Ibu pergi, siapa lagi yang akan mengurus si Bungsu,” tambah anak ketiganya sambil menangis.
“Maafkan Ibu, anak-anakku! Ibu harus segera pergi sebelum pelangi itu hilang. Ibu sudah bertekad kembali menemui keluarga Ibu di Kahyangan,” kata Putri Boki Nurfaesyah sambil meneteskan air mata.
Sesaat, suasana di rumah itu menjadi hening. Hati ibu dan keempat anak tersebut diselimuti perasaan haru. Dengan isak tangis haru, keempat anak itu terus membujuk sang Ibu agar tidak meninggalkan mereka. Namun, isak tangis mereka tidak dapat lagi membendung tekad sang Ibu. Putri Boki Nurfaesyah pun segera melilitkan selendang itu di pingganngya, lalu memegang kedua ujungnya seraya mengepak-ngepakkannya. Perlahan-lahan kakinya pun terangkat seperti tak berpijak di bumi. Tiba-tiba Putri Boki Nurfaesyah meliukkan badannya, dan seketika itu ia pun terbang melayang, membubung ke angkasa menuju negeri Kahyangan. Tak berapa lama, ia pun menghilang bersamaan dengan hilangnya pelangi. Keempat anaknya terperangah menyaksikan peristiwa tersebut. Sejak itu, Putri Boki Nurfaesyah tidak pernah lagi kembali ke bumi.
Saat malam menjelang, Jafar Sidik pulang dari ladangnya. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati anak-anaknya sedang menangis tersedu-sedu.
“Hai, kenapa kalian menangis? Ke mana Ibu kalian?” tanya Jafar Sidik dengan perasaan cemas.
Si Sulung pun menceritakan bahwa sang Ibu telah pergi. Betapa terkejutnya Jafar Sidik mendengar cerita itu. Ia sangat sedih dan menyesal karena tidak mampu menjaga keutuhan keluargannya. Namun, Jafar Sidik tidak ingin berlarut-laut dalam kesedihan, karena ia masih memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mendidik dan membesarkan anak-anaknya.
Sejak itu, Jafar Sidik pun harus membagi waktunya bekerja di ladang dan mengasuh anak-anaknya. Ia baru berangkat ke ladang setelah mengurus keempat anaknya, dan kembali ke rumah saat hari menjelang siang. Jafar Sidik kembali lagi ke ladang setelah anak-anaknya makan siang, dan pulang ke rumah sebelum malam menjelang. Begitulah kegiatan Jafar Sidik setiap hari sejak ditinggal pergi oleh istrinya.
Waktu terus berjalan. Keempat putra Jafar Sidik menjadi pemuda yang tampan, taat beragama, dan berjiwa sosial. Saat Maluku Utara dibagi dalam susunan pemerintahan, putra-putra Jafar Sidik tersebut diangkat menjadi pemimpinnya. Putra pertamanya menjadi sultan di Bacan, putra kedua menjadi sultan di Jailolo, putra ketiga menjadi sultan di Tidore, dan putra keempat menjadi sultan di Ternate. Dari merekalah kemudian lahir pemimpin-pemimpin Maluku.
* * *
Demikian cerita Asal-Usul Empat Sultan di Maluku Utara, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah keutamaan dari sifat bertanggung jawab. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Jafar Sidik yang telah mendidik dan membesarkan keempat anaknya menjadi orang yang taat beragama dan berjiwa sosial, sehingga mereka berhasil menjadi pemimpin di empat wilayah di Maluku Utara. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
kalau anak hendak menakah,
isilah dengan petuah amanah
kalau anak hendak jadi orang,
tunjuk ajarnya janganlah kurang
wahai ananda kuatkan iman,
tunaikan tugas jalankan kewajiban
tanggung jawabmu jangan abaikan
supaya hidupmu diridhoi Tuhan
 (Samsuni/sas/142/05-09)
Sumber:
  • Isi cerita diadaptasi dari Daryatun, 2008. “Empat Sultan di Maluku Utara,” dalam buku 366 Cerita Rakyat Nusantara. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa bekerja sama dengan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu.
  • Anonim, “Maluku Utara”, http://id.wikipedia.org/wiki/Maluku_Utara, diakses pada tanggal 6 Mei 2009.
  • Tenas Effendy. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit AdiCita Karya Nusa.
Sumber gambar: Buku 366 Cerita Rakyat Nusantara, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa bekerja sama dengan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, 2008.

No comments:

Post a Comment

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda Silahkan Tinggalkan Komentar

Popular Post